Actindo

Translate

27 August 2021

ASAP CAIR A10MF, SEBAGAI PEMBEKU KARET BAGIAN KE 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

 A.Pengaruh Kadar Asam dan pH Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Koagulasi Lateks Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari industri Asap Cair CV.ACTINDO yang juga merupakan industri percontohan produksi arang dan asap cair.


Asap cair diperoleh dari asap hasil pirolisis bahan baku tempurung kelapa yang ditangkap dengan sungkup dan pipa pengumpul asap kemudian diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin bak air (Rokhani, 2006). Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa. No Komponen kimia Jumlah persentase 1 Total Asam 9.81 ± 0.12% 2 Total Fenol 6.78 ± 0.06% 3 pH 3.00 ± 0.01 Total asam diukur dengan cara yaitu, sebanyak 10 gram asap cair tempurung kelapa diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades.
Larutan sampel sebanyak 10 gram ditambah indikator fenolphthalin (PP) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik akhir titrasi. Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat sehingga diperoleh nilai rata-rata total asam sebesar 9.81 ± 0.12%.

Untuk mengukur besarnya total fenol, sebanyak 10 ml asap cair tempurung kelapa disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Kemudian ditempatkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95% dan 5 ml air, selanjutnya ditambahkan 0.5 ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan selama 5 menit, lalu di tambahkan 1 ml Na2S2O3 5% ke tiap-tiap sampel, dikocok dalam vortex shaker dan disimpan selama 60 menit.

Setelah penyimpanan, sampel kembali dikocok dengan menggunakan vortex shaker dan diukur absorbansinya 36 pada panjang gelombang 725 nm. Berdasarkan kurva larutan standar dari sampel asap cair tempurung kelapa yang telah dibuat sebelumnya, diperoleh nilai rata-rata total fenol sebesar 6.78 ± 0.06%. Keasaman asap cair tempurung kelapa diukur dengan menggunakan pH meter. Sebanyak 10 gram asap cair dicampurkan dengan 100 ml akuades kedalam gelas piala. Selanjutnya elektroda pada pH meter dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Elektoda dicelupkan ke dalam asap cair selama beberapa saat, hingga diperoleh pembacaan yang stabil.


Berdasarkan pengukuran tersebut diperoleh besarnya pH rata-rata asap cair tempurung kelapa sebesar 3.00 ± 0.01. Data hasil analisis kimia komponen asap cair tempurung kelapa diatas secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 2. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet sit atau RSS. Pada umumnya perkebunan besar pengolahan karet alam menggunakan asam format (asam semut) sebagai bahan koagulan lateks. Asam format (HCOOH) dengan nama sistematis asam metanoat adalah asam karboksilat yang paling sederhana.

Asam karboksilat merupakan jenis asam lemah, sebab hanya sebagian kecil yang terionisasi apabila dilarutkan ke dalam air (Fessenden dan Fessenden, 1986). Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan banyak serangga dari ordo hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Penggunaan asam semut didasarkan pada kemampuannya yang cukup baik dalam menurunkan pH lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi perkebunan dibandingkan bahan koagulan asam lainnya. Partikel karet alam di dalam lateks diselaputi oleh suatu lapisan protein, sehingga partikel karet tersebut bermuatan listrik (Goutara, 1985).

Protein terdiri dari asam amino dan satu sama lainya terikat oleh ikatan peptida. Asam amino yang terdapat di dalam lateks merupakan ion dipolar dan bersifat amfoter. Dalam kimia, amfoter adalah zat yang dapat bereaksi sebagai asam atau basa. Perilaku ini terjadi bisa karena memiliki dua gugus asam dan basa sekaligus (Fessenden dan Fessenden, 1986). Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan, melainkan saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik.

Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam 37 lateks, isopropen diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan listrik (Zuhra, 2006). Untuk lebih jelasnya, protein dipolar pada lateks ditunjukkan oleh
Gambar 5. Pada umunya lateks kebun hasil sadapan memiliki pH antara 7-8 dan bermuatan negatif. Partikel karet yang dilapisi lapisan protein dan lipid merupakan koloid hidrofilik yang artinya dilindungi atau diselaputi oleh muatan listrik. Larutan koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat mempertahankan muatan listrik partikel yaitu dengan adanya protein.
Koagulasi atau pembekuan adalah suatu proses pengurangan keseimbangan partikel-partikel di dalam lateks dimana akan terbentuk gumpalan-gumpalan polimer karet yang terpisah dengan partikel lainya (Sethu, 1987). 

Tujuan dari pembekuan adalah untuk memisahkan hampir semua fase air (serum) sebagai cairan dan memperoleh karet secara ekonomis dari lateks kebun hasil sadapan. Sifat koloid yang telah dijelaskan sebelumnya dijadikan sebagai dasar untuk terjadinya proses koagulasi. Lateks akan berkoagulasi dengan cara membuang muatan protein dari partikel karet. Syarat kestabilan lateks dipengaruhi oleh muatan listrik di dalamnya. Muatan listrik sendiri tergantung dari pH lateks. Pada pH tertentu muatan listrik akan mencapai nilai 0 yaitu pada titik isoelektrik.

Titik Isoelektrik adalah derajat keasaman atau pH ketika suatu makromolekul bermuatan nol akibat bertambahnya proton atau kehilangan muatan oleh reaksi asam-basa (Goutara, 1985). Pada koloid, jika pH sama dengan titik isoelektrik, maka sebagian atau semua muatan pada partikelnya akan hilang selama proses ionisasi terjadi. Jika pH berada pada kondisi di bawah titik isoelektrik, maka partikel koloid akan bermuatan positif. 

Protein dipolar pada lateks. H O +H + H O +H + H O R – C – C R – C – C R – C – C NH2 O - -H + NH3 + O - -H + NH3 + OH Protein negatif pH > 4.7 Protein netral pH = 4.7 Protein positif pH < 4.7 38 Sebaliknya, jika pH berada di atas titik isoelektrik maka muatan koloid akan berubah menjadi netral atau bahkan menjadi negatif. Lateks akan berada pada titik isoelektrik dengan pH berkisar antara 4.7-5.3. Pada pH tersebut protein menjadi tidak stabil. Akan tetapi pada pH ini lateks tidak segera menggumpal karena partikel masih diselubungi oleh mantel air.

Dalam rentang waktu tertentu, suhu dan dengan kondisi protein yang tidak stabil, maka lapisan tersebut pada akhirnya akan hilang sehingga antar butir karet terjadi kontak dan kemudian akan menggumpal. Menurut Goutara (1985), lateks yang mempunyai pH 7-8 (dalam kondisi basa) akan berada dalam bentuk cair, karena bermuatan negatif, tetapi bila ditambahkan asam organik atau anorganik sampai pH mendekati titik isoelekrtik maka akan terjadi penggumpalan lateks, karena elektro kinetis potensial sangat sudah rendah. Hubungan antara pH dengan kestabilan lateks ditunjukkan oleh
Gambar 6. Penggumpalan lateks dapat dilakukan dengan cara pemberian asam lemah seperti asam asetat atau asam semut, sebab bila menggunakan asam kuat akan terjadi koagulasi yang sangat cepat serta tidak sempurna. Asam kuat dapat menyebabkan sebagian partikel lateks bermuatan positif, sehingga proses koagulasi tidak sempurna karena terjadi saling tolak-menolak antara partikel lateks. Istilah asam berasal dari bahasa latin acetum yang berarti cuka. Ion H+ dalam asam dapat meniadakan muatan listrik negatif partikel lateks serta menurunkan pH.

Terbentuknya asam berarti menambah jumlah ion positif dan menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik antara ion positif dari asam dengan ion negatif dari lapisan protein yang menyelubungi partikel karet, sehingga terjadi koagulasi lateks. Penurunan pH terjadi oleh selain adanya asam juga oleh adanya elektrolit dan garam.

Penambahan asam ke dalam lateks akan menyebabkan terjadinya reaksi ke arah kesetimbangan, yaitu keadaan suatu sistem dimana gaya-gaya yang berlawanan ataupun laju-laju suatu proses berimbang. Asam dalam hal ini ion H+ akan bereaksi dengan ion OHpada protein dan senyawa lainnya untuk menetralkan muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks.

Cepat lambatnya proses koagulasi bergantung pada laju atau kecepatan reaksi, yaitu perubahan konsentrasi pereaksi atau produk dalam suatu satuan waktu. Menurut 39 Keenan et al. (1980), salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah suhu atau temperatur sistem. Laju suatu reaksi kimia bertambah dengan naiknya suhu. Kenaikan sebesar 10o C akan melipatkan dua atau tiga kali laju suatu reaksi antara molekul-molekul (Keenan et al., 1980).

Dengan kenaikan laju reaksi maka partikel akan semakin cepat bergerak dan bertumbukan satu sama lainya. Dalam penelitian ini proses pencampuran atau reaksi antara bahan koagulan asam semut dan asap cair dengan lateks terjadi pada suhu ruangan, yaitu rata-rata sebesar 28 oC dengan RH (kelembaban) 70 %. Lateks akan membeku sempurna setelah 40 menit.

Grafik hubungan antara pH dengan kestabilan lateks (Goutara, 1985). Pada umumnya pabrik pengolahan RSS mencampurkan koagulan asam dan lateks pada suhu ruangan dimana proses pengolahan berlangsung dengan waktu pembekuan sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Proses koagulasi dapat dipercepat salah satunya dengan meningkatkan suhu, misalkan dengan memberikan kalor pada sistem/lingkungan. Pada suhu yang ditingkatkan, molekul akan memiliki kecepatan tumbukan dan energi yang lebih besar untuk bereaksi (Keenan et al., 1980). Penambahan kalor pada proses produksi RSS dalam skala besar di pabrik pengolahan tentu akan berdampak pada peningkatan biaya produksi yang diperlukan, oleh sebab itu diperlukan pertimbangan yang baik dari 40 sisi ekonomi. Peningkatan suhu untuk mempercepat proses koagulasi lateks biasanya dilakukan oleh perkebunan atau pabrik pengolahan untuk menentukan dengan cepat besarnya KKK. Sejumlah 100 ml lateks direaksikan dengan koagulan asam di dalam wadah alumunium dan dipanaskan hingga suhunya mencapai 80 oC.

Dalam kondisi tersebut lateks akan membeku dalam waktu sekitar 5 menit. Dengan peningkatan suhu, maka waktu yang dibutuhkan untuk proses pembekuan lateks menjadi lebih cepat. Kadar asam serta nilai pH merupakan salah satu parameter yang menentukan kualitas dari asap cair yang dihasilkan.

Komponen asam organik yang cukup tinggi dalam asap cair tempurung kelapa adalah asam asetat yang terbentuk dari dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Menurut Suhardiyono (1988) tempurung kelapa memiliki kandungan hemiselulosa sebesar 27.7%, selulosa 26.6% serta lignin 29.4%. Hal ini tentu bepengaruh terhadap kadar asam yang dihasilkan selama proses pirolisis tempurung kelapa. Hasil pengukuran menunjukkan kandungan asam dalam asap cair tempurung kelapa pada penelitian ini sebesar 9.81%.

Sementara penelitian yang telah dilakukan oleh Maspanger (2003) mengenai pemanfaatan asap cair kayu karet sebagai bahan pengolahan karet menunjukkan kadar asam yang terkandung dalam asap cair tersebut sebesar 3- 3,5% dengan nilai pH 2.2. Nilai pH asap cair menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair.

Menurut Purba (2000) nilai pH larutan menyatakan konsentrasi ion H+ dalam larutan. Derajat atau tingkat keasaman larutan bergantung pada konsentrasi ion H+ dalam larutan dimana, nilai pH sama dengan negatif logaritma konsentrasi ion H+ . Semakin besar konsentrasi ion H+ semakin kecil nilai pH, dan karena bilangan dasar logaritma adalah 10 maka larutan yang nilai pH-nya berbeda sebesar n mempunyai perbedaan konsentrasi ion H+ sebesar 10n . Nilai pH asap cair yang rendah menunjukkan kualitas asap cair yang baik untuk digunakan sebagai bahan koagulan karena berpengaruh terhadap penurunan pH lateks hingga mencapai titik isoelektriknya.

Selain dengan penambahan asam, penggumpalan juga dapat terjadi secara alami yang dikenal dengan istilah prakoagulasi. Prakoagulasi ini tidak 41 dikehendaki karena mutu karet menjadi rendah. Pada kondisi tersebut peran bakteri pengurai dalam lateks yang juga menghasilkan ion H+ sebagai hasil metabolisme berperan besar dalam proses pembekuan. Selain itu prakoagulasi pada lateks juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, suhu lingkungan, enzim, iklim, keadaan tanaman, jenis klon tanaman, pengangkutan serta kotoran dari luar.

B. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Pengolahan RSS Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami proses pengendapan, penyaringan serta penyimpanan selama kurang lebih 2 tahun. Asap cair memiliki penampakan fisik dengan warna kuning kecoklatan yang jernih, berbau asap pekat dengan kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan pH sebesar 3.00. Sedangkan koagulan asam yang digunakan adalah jenis asam semut yang banyak dijual di pasaran dengan konsentrasi 90%.

Masing-masing taraf perlakuan ditujukan untuk mengetahui efektivitas serta dosis pemberian asap cair bila digunakan secara penuh (murni) atau dikombinasikan dengan asam semut sebagai bahan koagulan yang menghasilkan RSS sesuai dengan standar mutu yang meliputi kelas mutu RSS, plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Tahap awal dari penelitian ini adalah pengumpulan lateks kebun di lapangan. Lateks berasal dari beberapa klon tanaman yang telah direkomendasikan sebagai bahan baku RSS diantaranya GT, Avros, LCB dan RRIM.

Karekteristik lateks pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3, 4 dan 5. Lateks yang telah disadap di kebun kemudian diberikan zat antikoagulan berupa amoniak 10% untuk mencegah penggumpalan alamiah atau prakoagulasi selama pengangkutan ke tempat pengolahan/pabrik. Prakoagulasi ini tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan koagulum yang tidak sempurna serta mutu karet sit yang rendah. Tahap berikutnya adalah penentuan KKK serta kadar NH3 lateks, hal ini penting dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk pengenceran serta jumlah asam yang akan diberikan untuk membekukan lateks.

Proses selanjutnya adalah pengenceran hingga kadar KKK mencapai 12%. 42 Pengenceran dilakukan untuk menyeragamkan KKK, memudahkan penyaringan kotoran dan gelembung udara yang terperangkap serta memudahkan dalam pencampuran dengan asam. Perlakuan taraf asam semut : asap cair yang digunakan adalah 100 % asam semut : 0% asap cair sebagai kontrol ; 0% asam semut : 100% asap cair ; 25% asam semut: 75% asap cair; 50% asam semut : 50% asap cair ; 75% asam semut : 25% asap cair dan 0% asam semut : 200% asap cair.

Pembuatan larutan koagulan dilakukan dengan cara mencampurkan kedua bahan sesuai dengan perbandingan yang ditetapkan ke dalam labu erlenmeyer. Bahan koagulan yang telah dicampurkan masih memiliki tingkat konsentrasi/kepekatan yang tinggi sehingga perlu diencerkan dengan menambahkan air hingga konsentarsinya menjadi 2%.

Pengenceran larutan pekat menyebabkan volum dan kemolalan larutan berubah, tetapi jumlah mol zat terlarut tidak berubah (Purba, 2000). Hal ini dilakukan agar asam yang mengandung ion H + dapat menetralkan ion negatif pada lateks secara perlahan dan merata sehingga menghasilkan koagulum yang baik. Bahan koagulan dalam penelitian ini pada setiap pengulangan menunjukkan karakteristik yang seragam (Tabel 7). 

Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair tempurung kelapa Koagulan asam semut : asap cair Karakteristik Warna Bau pH*) 100% : 0% Jernih Berbau asam 1.65 ± 0.02 0% : 100% Kuning cerah dan sedikit hijau muda Berbau asap 3.02 ± 0.02 25% : 75% Kuning cerah Sedikit berbau asap dan asam 1.93 ± 0.03 50% : 50% Kuning cerah Sedikit berbau asap dan asam 1.84 ± 0.04 75% : 25% Kuning Sedikit berbau asap dan asam 1.77 ± 0.05 0% : 200% Kuning dan sedikit hijau muda Berbau asap dan asam 3.01 ± 0.01 *) nilai pH rata-rata dalam 3 kali pengulangan. 43 Pada tabel diatas tampak bahwa nilai pH kontrol yang berupa asam semut memiliki nilai yang paling rendah yaitu sebesar 1.65, sedangkan perlakuan yang menggunakan kombinasi dan murni asap cair cenderung mengalami kenaikan nilai pH.

Pada penambahan 25% asap cair nilai pH koagulan meningkat sebesar 1.77, sedangkan pada penambahan 50% asap cair nilai pH menjadi 1.84. Semakin banyak jumlah asap cair yang diberikan maka nilai pH akan semakin besar. Hal ini terkait dengan nilai pH awal asap cair yang lebih tinggi dibandingkan asam semut, sehingga pada saat pencampuran akan terjadi kesetimbangan pH diantara 2 larutan yang berbeda.

Dengan kata lain, penambahan asap cair ke dalam asam semut dapat meningkatkan nilai pH bahan koagulan. Pemberian bahan koagulan dilakuan secara perlahan dan sedikit demi sedikit ke dalam wadah koagulasi yang disertai dengan pengadukan. Hal ini bertujuan agar bahan koagulan dapat tercampur secara merata ke dalam lateks.

Pemberian bahan koagulan yang berlebih atau terlalu banyak akan menyebabkan koagulum menjadi keras dan sulit untuk digiling, sedangkan jika pemberian kurang maka koagulum akan menjadi lunak, membubur atau tetap encer (tidak membeku). Pengadukan juga harus dilakukan secara perlahan untuk mengurangi busa yang timbul selama proses berlangsung.

Timbulnya busa selama proses pencampuran dan pengadukan dapat menimbulkan gelembung udara yang dapat menurunkan kualitas RSS. Selanjutnya wadah koagulasi ditutup rapat untuk mengindari kontak dengan udara luar. Pada perlakuan 100% asam semut (kontrol) lateks akan membeku dalam waktu 40 menit, begitu pula pada perlakuan lainya, kecuali yang menggunakan murni asap cair (100% dan 200%) yang membutuhkan waktu kurang lebih selama 120 menit untuk membeku.

Hal ini dapat disebkan karena kadar asam semut yang rendah serta pH asap cair yang lebih tinggi jika dibandingankan dengan perlakuan yang menggunakan asam murni atau kombinasi asam semut dan asap cair. Lateks yang yang telah membeku disebut koagulum. Hasil koagulum pada perlakuan 25% : 75%, 50% : 50% dan 75% : 25% asam semut : asap cair, menunjukkan ciri-ciri fisik yang sama dengan kontrol sedangkan pada perlakuan 100% dan 200% asap cair terlihat bintik-bintik gelembung udara pada bagian permukaan, hasil ini terlihat seragam pada setiap pengulangan.

Setiap perlakuan 44 yang menggunakan kombinasi serta murni asap cair menunjukkan adanya lapisan tipis berwarna cokelat pada permukaan koagulum serta beraroma asap. Bagian lapisan tersebut akan hilang ketika koagulum dicuci/bilas dengan air. Lapisan ini terbentuk sebagai akibat reaksi antara serum lateks serta kandungan karbonil dalam asap cair yang memiliki kemampuan memberi warna khas cokelat pada produk.

Menurut Ruswanto et al. (2000), karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya pembentukan warna coklat produk asapan. Jenis komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid glioksal sedangkan formaldehid dan hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna coklat pada produk yang diasap meskipun intensitasnya tidak sebesar karbonil. Perlakuan menggunakan kombinasi dan murni asap cair juga menunjukkan warna yang lebih kuning kecokelatan dibandingkan dengan kontrol yang berwarna putih.

Warna lebih cokelat terlihat lebih pekat pada pemberian asap cair 200%. Pembentukan warna cokelat ini berbanding lurus dengan konsentrasi asap cair di dalam bahan koagulan. Dengan demikian salah satu keunggulan dari asap cair tempurung kelapa adalah dapat memberikan warna khas cokelat pada produk RSS sehingga dapat menghemat penggunaan kayu bakar karena tidak membutuhkan pengasapan yang terlalu banyak untuk memberikan warna.

Bintik-bintik gelembung yang terlihat pada koagulum menunjukkan pembekuan yang kurang sempurna serta sisa gelembung yang tidak dapat naik kepermukaan selama proses pengadukan dan pembekuan. Gelembung tersebut terperangkap di dalam lateks hingga akhirnya turut membeku.

Menurut Suseno (1989), gelembung gas yang timbul dalam karet sit dapat disebabkan karena penggumpalan terjadi terlalu cepat dengan menggunakan asam yang berlebih/pekat sehingga gelembung udara tidak sempat naik ke permukan atau dapat juga disebabkan karena penggunaan asam yang terlalu lemah (kadar asam rendah), sehingga membutuhkan waktu penggumpalan yang terlalu lama dan kurang sempurna. Hasil pembekuan yang tidak sempurna akan memiliki tingkat kekerasan koagulum yang tidak merata serta permukaan koagulum yang kasar.

Pembekuan merupakan tahapan yang penting serta membutuhkan ketelitian tinggi dalam penentuan jumlah pemberian asam. Gelembung tampak lebih banyak pada 45 perlakuan 100% dan 200% asap cair, meskipun pemberian telah dilakukan berdasarkan standar pemberian bahan koagualan RSS. Hal ini menunjukkan kandungan asam yang rendah serta pH tinggi pada asap cair tempurung kelapa sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membekukan lateks. Perbandingan hasil koagulum menggunakan asap cair yang membeku secara sempurna dan tidak sempurna ditunjukkan pada Gambar 7. (a) (b) 

Pembekuan tidak sempurna (a) dan pembekuan sempurna (b). Proses selanjutnya adalah penggilingan yang bertujuan untuk memisahkan sebagian besar air yang terkandung dalam koagulum. Dengan penggilingan permukaan sit akan menjadi semakin besar, sehingga akan mempercepat proses pengeringan. Dalam penelitian ini digunakan metode giling pagi, yaitu penggilingan sit dilakukan pada pagi hari setelah semua lateks selesai dibekukuan pada sore hari sebelumnya. Metode ini banyak digunakan oleh perkebunanperkebunan besar termasuk PTPN VIII Cikumpay tempat penelitian ini dilakukan karena di nilai lebih mudah, efisien serta memberikan kesempatan koagulum untuk membeku secara sempurna. 

Koagulum dikeluarkan dari wadah untuk kemudian digiling menggunakan mesin penggilingan sit (sitter six in one). 46 Setelah digiling, sit dicuci dengan air bersih untuk menghindari permukaan yang berlemak akibat penggunaan bahan kimia, membersihkan kotoran yang masih melekat serta menghindari agar sit tidak menjadi lengket saat penirisan. 

Koagulum yang telah digiling kemudian ditiriskan diruang terbuka dan terlindung dari sinar matahari selama 1-2 jam. Penirisan tidak boleh terlalu lama untuk menghindari terjadinya cacat pada sit yang dihasilkan, misalnya timbul warna yang seperti karat akibat oksidasi. Sampai pada tahap ini hasil koagulum semua perlakuan masih sama dengan kontrol tidak menunjukkan warna bintik-bintik hitam atau karat yang mengidikasikan oksidasi pada bagian permukaan.

Lihat selanjutnya

No comments:

Post a Comment