HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Pengaruh Kadar Asam dan
pH Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Koagulasi Lateks Asap cair
tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari industri Asap Cair CV.ACTINDO yang juga merupakan industri percontohan produksi arang
dan asap cair.
Asap cair diperoleh dari asap hasil pirolisis bahan baku tempurung
kelapa yang ditangkap dengan sungkup dan pipa pengumpul asap kemudian diikuti
dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor berpendingin bak air (Rokhani,
2006). Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan kimia yang terdapat
di dalam asap cair tempurung kelapa dalam penelitian ini disajikan pada Tabel
6. Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa. No
Komponen kimia Jumlah persentase 1 Total Asam 9.81 ± 0.12% 2 Total Fenol 6.78 ±
0.06% 3 pH 3.00 ± 0.01 Total asam diukur dengan cara yaitu, sebanyak 10 gram
asap cair tempurung kelapa diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades.
Larutan sampel sebanyak 10 gram ditambah indikator fenolphthalin
(PP) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik
akhir titrasi. Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat
sehingga diperoleh nilai rata-rata total asam sebesar 9.81 ± 0.12%.
Untuk mengukur besarnya total fenol, sebanyak 10 ml asap cair tempurung
kelapa disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Kemudian ditempatkan ke dalam
tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95% dan 5 ml air, selanjutnya
ditambahkan 0.5 ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan
selama 5 menit, lalu di tambahkan 1 ml Na2S2O3 5% ke tiap-tiap sampel, dikocok
dalam vortex shaker dan disimpan selama 60 menit.
Setelah penyimpanan, sampel kembali dikocok dengan menggunakan
vortex shaker dan diukur absorbansinya 36 pada panjang gelombang 725 nm. Berdasarkan
kurva larutan standar dari sampel asap cair tempurung kelapa yang telah dibuat
sebelumnya, diperoleh nilai rata-rata total fenol sebesar 6.78 ± 0.06%.
Keasaman asap cair tempurung kelapa diukur dengan menggunakan pH meter.
Sebanyak 10 gram asap cair dicampurkan dengan 100 ml akuades kedalam gelas
piala. Selanjutnya elektroda pada pH meter dibilas dengan akuades dan
dikeringkan. Elektoda dicelupkan ke dalam asap cair selama beberapa saat,
hingga diperoleh pembacaan yang stabil.
Berdasarkan pengukuran tersebut diperoleh besarnya pH rata-rata
asap cair tempurung kelapa sebesar 3.00 ± 0.01. Data hasil analisis kimia
komponen asap cair tempurung kelapa diatas secara lebih lengkap disajikan pada
Lampiran 2. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah mengkaji penggunaan asap
cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet sit
atau RSS. Pada umumnya perkebunan besar pengolahan karet alam menggunakan asam
format (asam semut) sebagai bahan koagulan lateks. Asam format (HCOOH) dengan nama
sistematis asam metanoat adalah asam karboksilat yang paling sederhana.
Asam karboksilat merupakan jenis asam lemah, sebab hanya sebagian
kecil yang terionisasi apabila dilarutkan ke dalam air (Fessenden dan
Fessenden, 1986). Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan
banyak serangga dari ordo hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Penggunaan
asam semut didasarkan pada kemampuannya yang cukup baik dalam menurunkan pH
lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi perkebunan dibandingkan bahan
koagulan asam lainnya. Partikel karet alam di dalam lateks diselaputi oleh
suatu lapisan protein, sehingga partikel karet tersebut bermuatan listrik
(Goutara, 1985).
Protein terdiri dari asam amino dan satu sama lainya terikat oleh
ikatan peptida. Asam amino yang terdapat di dalam lateks merupakan ion dipolar
dan bersifat amfoter. Dalam kimia, amfoter adalah zat yang dapat bereaksi
sebagai asam atau basa. Perilaku ini terjadi bisa karena memiliki dua gugus
asam dan basa sekaligus (Fessenden dan Fessenden, 1986). Partikel karet di
dalam lateks terletak tidak saling berdekatan, melainkan saling menjauh karena
masing-masing partikel memiliki muatan listrik.
Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di
dalam 37 lateks, isopropen diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel
karet bermuatan listrik (Zuhra, 2006). Untuk lebih jelasnya, protein dipolar
pada lateks ditunjukkan oleh
Gambar 5. Pada umunya lateks kebun hasil sadapan memiliki pH
antara 7-8 dan bermuatan negatif. Partikel karet yang dilapisi lapisan protein
dan lipid merupakan koloid hidrofilik yang artinya dilindungi atau diselaputi
oleh muatan listrik. Larutan koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat
mempertahankan muatan listrik partikel yaitu dengan adanya protein.
Koagulasi atau pembekuan adalah suatu proses pengurangan
keseimbangan partikel-partikel di dalam lateks dimana akan terbentuk
gumpalan-gumpalan polimer karet yang terpisah dengan partikel lainya (Sethu,
1987).
Tujuan dari pembekuan adalah untuk memisahkan hampir semua fase
air (serum) sebagai cairan dan memperoleh karet secara ekonomis dari lateks
kebun hasil sadapan. Sifat koloid yang telah dijelaskan sebelumnya dijadikan
sebagai dasar untuk terjadinya proses koagulasi. Lateks akan berkoagulasi dengan
cara membuang muatan protein dari partikel karet. Syarat kestabilan lateks
dipengaruhi oleh muatan listrik di dalamnya. Muatan listrik sendiri tergantung
dari pH lateks. Pada pH tertentu muatan listrik akan mencapai nilai 0 yaitu
pada titik isoelektrik.
Titik Isoelektrik adalah derajat keasaman atau pH ketika suatu
makromolekul bermuatan nol akibat bertambahnya proton atau kehilangan muatan
oleh reaksi asam-basa (Goutara, 1985). Pada koloid, jika pH sama dengan titik
isoelektrik, maka sebagian atau semua muatan pada partikelnya akan hilang
selama proses ionisasi terjadi. Jika pH berada pada kondisi di bawah titik
isoelektrik, maka partikel koloid akan bermuatan positif.
Protein dipolar pada lateks. H O +H + H O +H + H O R – C – C R – C
– C R – C – C NH2 O - -H + NH3 + O - -H + NH3 + OH Protein negatif pH > 4.7
Protein netral pH = 4.7 Protein positif pH < 4.7 38 Sebaliknya, jika pH
berada di atas titik isoelektrik maka muatan koloid akan berubah menjadi netral
atau bahkan menjadi negatif. Lateks akan berada pada titik isoelektrik dengan
pH berkisar antara 4.7-5.3. Pada pH tersebut protein menjadi tidak stabil. Akan
tetapi pada pH ini lateks tidak segera menggumpal karena partikel masih
diselubungi oleh mantel air.
Dalam rentang waktu tertentu, suhu dan dengan kondisi protein yang
tidak stabil, maka lapisan tersebut pada akhirnya akan hilang sehingga antar
butir karet terjadi kontak dan kemudian akan menggumpal. Menurut Goutara
(1985), lateks yang mempunyai pH 7-8 (dalam kondisi basa) akan berada dalam
bentuk cair, karena bermuatan negatif, tetapi bila ditambahkan asam organik
atau anorganik sampai pH mendekati titik isoelekrtik maka akan terjadi
penggumpalan lateks, karena elektro kinetis potensial sangat sudah rendah.
Hubungan antara pH dengan kestabilan lateks ditunjukkan oleh
Gambar 6. Penggumpalan lateks dapat dilakukan dengan cara
pemberian asam lemah seperti asam asetat atau asam semut, sebab bila
menggunakan asam kuat akan terjadi koagulasi yang sangat cepat serta tidak
sempurna. Asam kuat dapat menyebabkan sebagian partikel lateks bermuatan
positif, sehingga proses koagulasi tidak sempurna karena terjadi saling
tolak-menolak antara partikel lateks. Istilah asam berasal dari bahasa latin
acetum yang berarti cuka. Ion H+ dalam asam dapat meniadakan muatan listrik
negatif partikel lateks serta menurunkan pH.
Terbentuknya asam berarti menambah jumlah ion positif dan
menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik antara ion positif dari asam dengan
ion negatif dari lapisan protein yang menyelubungi partikel karet, sehingga
terjadi koagulasi lateks. Penurunan pH terjadi oleh selain adanya asam juga
oleh adanya elektrolit dan garam.
Penambahan asam ke dalam lateks akan menyebabkan terjadinya reaksi
ke arah kesetimbangan, yaitu keadaan suatu sistem dimana gaya-gaya yang
berlawanan ataupun laju-laju suatu proses berimbang. Asam dalam hal ini ion H+
akan bereaksi dengan ion OHpada protein dan senyawa lainnya untuk menetralkan
muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks.
Cepat lambatnya proses koagulasi bergantung pada laju atau
kecepatan reaksi, yaitu perubahan konsentrasi pereaksi atau produk dalam suatu
satuan waktu. Menurut 39 Keenan et al. (1980), salah satu faktor yang
mempengaruhi laju reaksi adalah suhu atau temperatur sistem. Laju suatu reaksi
kimia bertambah dengan naiknya suhu. Kenaikan sebesar 10o C akan melipatkan dua
atau tiga kali laju suatu reaksi antara molekul-molekul (Keenan et al., 1980).
Dengan kenaikan laju reaksi maka partikel akan semakin cepat
bergerak dan bertumbukan satu sama lainya. Dalam penelitian ini proses
pencampuran atau reaksi antara bahan koagulan asam semut dan asap cair dengan
lateks terjadi pada suhu ruangan, yaitu rata-rata sebesar 28 oC dengan RH
(kelembaban) 70 %. Lateks akan membeku sempurna setelah 40 menit.
Grafik hubungan antara pH dengan kestabilan lateks (Goutara,
1985). Pada umumnya pabrik pengolahan RSS mencampurkan koagulan asam dan lateks
pada suhu ruangan dimana proses pengolahan berlangsung dengan waktu pembekuan
sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Proses koagulasi dapat
dipercepat salah satunya dengan meningkatkan suhu, misalkan dengan memberikan
kalor pada sistem/lingkungan. Pada suhu yang ditingkatkan, molekul akan
memiliki kecepatan tumbukan dan energi yang lebih besar untuk bereaksi (Keenan
et al., 1980). Penambahan kalor pada proses produksi RSS dalam skala besar di
pabrik pengolahan tentu akan berdampak pada peningkatan biaya produksi yang diperlukan,
oleh sebab itu diperlukan pertimbangan yang baik dari 40 sisi ekonomi.
Peningkatan suhu untuk mempercepat proses koagulasi lateks biasanya dilakukan
oleh perkebunan atau pabrik pengolahan untuk menentukan dengan cepat besarnya
KKK. Sejumlah 100 ml lateks direaksikan dengan koagulan asam di dalam wadah
alumunium dan dipanaskan hingga suhunya mencapai 80 oC.
Dalam kondisi tersebut lateks akan membeku dalam waktu sekitar 5
menit. Dengan peningkatan suhu, maka waktu yang dibutuhkan untuk proses pembekuan
lateks menjadi lebih cepat. Kadar asam serta nilai pH merupakan salah satu
parameter yang menentukan kualitas dari asap cair yang dihasilkan.
Komponen asam organik yang cukup tinggi dalam asap cair tempurung
kelapa adalah asam asetat yang terbentuk dari dekomposisi hemiselulosa dan
selulosa. Menurut Suhardiyono (1988) tempurung kelapa memiliki kandungan
hemiselulosa sebesar 27.7%, selulosa 26.6% serta lignin 29.4%. Hal ini tentu
bepengaruh terhadap kadar asam yang dihasilkan selama proses pirolisis
tempurung kelapa. Hasil pengukuran menunjukkan kandungan asam dalam asap cair
tempurung kelapa pada penelitian ini sebesar 9.81%.
Sementara penelitian yang telah dilakukan oleh Maspanger (2003)
mengenai pemanfaatan asap cair kayu karet sebagai bahan pengolahan karet
menunjukkan kadar asam yang terkandung dalam asap cair tersebut sebesar 3- 3,5%
dengan nilai pH 2.2. Nilai pH asap cair menunjukkan tingkat proses penguraian
komponen kayu yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair.
Menurut Purba (2000) nilai pH larutan menyatakan konsentrasi ion
H+ dalam larutan. Derajat atau tingkat keasaman larutan bergantung pada
konsentrasi ion H+ dalam larutan dimana, nilai pH sama dengan negatif logaritma
konsentrasi ion H+ . Semakin besar konsentrasi ion H+ semakin kecil nilai pH,
dan karena bilangan dasar logaritma adalah 10 maka larutan yang nilai pH-nya
berbeda sebesar n mempunyai perbedaan konsentrasi ion H+ sebesar 10n . Nilai pH
asap cair yang rendah menunjukkan kualitas asap cair yang baik untuk digunakan
sebagai bahan koagulan karena berpengaruh terhadap penurunan pH lateks hingga
mencapai titik isoelektriknya.
Selain dengan penambahan asam, penggumpalan juga dapat terjadi
secara alami yang dikenal dengan istilah prakoagulasi. Prakoagulasi ini tidak
41 dikehendaki karena mutu karet menjadi rendah. Pada kondisi tersebut peran
bakteri pengurai dalam lateks yang juga menghasilkan ion H+ sebagai hasil
metabolisme berperan besar dalam proses pembekuan. Selain itu prakoagulasi pada
lateks juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, suhu lingkungan,
enzim, iklim, keadaan tanaman, jenis klon tanaman, pengangkutan serta kotoran
dari luar.
B. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Pengolahan RSS Asap
cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini telah mengalami
proses pengendapan, penyaringan serta penyimpanan selama kurang lebih 2 tahun.
Asap cair memiliki penampakan fisik dengan warna kuning kecoklatan yang jernih,
berbau asap pekat dengan kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78%
dan pH sebesar 3.00. Sedangkan koagulan asam yang digunakan adalah jenis asam
semut yang banyak dijual di pasaran dengan konsentrasi 90%.
Masing-masing taraf perlakuan ditujukan untuk mengetahui
efektivitas serta dosis pemberian asap cair bila digunakan secara penuh (murni)
atau dikombinasikan dengan asam semut sebagai bahan koagulan yang menghasilkan
RSS sesuai dengan standar mutu yang meliputi kelas mutu RSS, plastisitas PRI,
kadar abu serta kadar kotoran. Tahap awal dari penelitian ini adalah
pengumpulan lateks kebun di lapangan. Lateks berasal dari beberapa klon tanaman
yang telah direkomendasikan sebagai bahan baku RSS diantaranya GT, Avros, LCB
dan RRIM.
Karekteristik lateks pada penelitian ini dapat dilihat pada
Lampiran 3, 4 dan 5. Lateks yang telah disadap di kebun kemudian diberikan zat
antikoagulan berupa amoniak 10% untuk mencegah penggumpalan alamiah atau
prakoagulasi selama pengangkutan ke tempat pengolahan/pabrik. Prakoagulasi ini
tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan koagulum yang tidak sempurna serta
mutu karet sit yang rendah. Tahap berikutnya adalah penentuan KKK serta kadar
NH3 lateks, hal ini penting dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang
dibutuhkan untuk pengenceran serta jumlah asam yang akan diberikan untuk membekukan
lateks.
Proses selanjutnya adalah pengenceran hingga kadar KKK mencapai
12%. 42 Pengenceran dilakukan untuk menyeragamkan KKK, memudahkan penyaringan
kotoran dan gelembung udara yang terperangkap serta memudahkan dalam
pencampuran dengan asam. Perlakuan taraf asam semut : asap cair yang digunakan
adalah 100 % asam semut : 0% asap cair sebagai kontrol ; 0% asam semut : 100%
asap cair ; 25% asam semut: 75% asap cair; 50% asam semut : 50% asap cair ; 75%
asam semut : 25% asap cair dan 0% asam semut : 200% asap cair.
Pembuatan larutan koagulan dilakukan dengan cara mencampurkan
kedua bahan sesuai dengan perbandingan yang ditetapkan ke dalam labu
erlenmeyer. Bahan koagulan yang telah dicampurkan masih memiliki tingkat
konsentrasi/kepekatan yang tinggi sehingga perlu diencerkan dengan menambahkan
air hingga konsentarsinya menjadi 2%.
Pengenceran larutan pekat menyebabkan volum dan kemolalan larutan
berubah, tetapi jumlah mol zat terlarut tidak berubah (Purba, 2000). Hal ini
dilakukan agar asam yang mengandung ion H + dapat menetralkan ion negatif pada
lateks secara perlahan dan merata sehingga menghasilkan koagulum yang baik.
Bahan koagulan dalam penelitian ini pada setiap pengulangan menunjukkan
karakteristik yang seragam (Tabel 7).
Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair
tempurung kelapa Koagulan asam semut : asap cair Karakteristik Warna Bau pH*)
100% : 0% Jernih Berbau asam 1.65 ± 0.02 0% : 100% Kuning cerah dan sedikit
hijau muda Berbau asap 3.02 ± 0.02 25% : 75% Kuning cerah Sedikit berbau asap
dan asam 1.93 ± 0.03 50% : 50% Kuning cerah Sedikit berbau asap dan asam 1.84 ±
0.04 75% : 25% Kuning Sedikit berbau asap dan asam 1.77 ± 0.05 0% : 200% Kuning
dan sedikit hijau muda Berbau asap dan asam 3.01 ± 0.01 *) nilai pH rata-rata
dalam 3 kali pengulangan. 43 Pada tabel diatas tampak bahwa nilai pH kontrol yang
berupa asam semut memiliki nilai yang paling rendah yaitu sebesar 1.65,
sedangkan perlakuan yang menggunakan kombinasi dan murni asap cair cenderung
mengalami kenaikan nilai pH.
Pada penambahan 25% asap cair nilai pH koagulan meningkat sebesar
1.77, sedangkan pada penambahan 50% asap cair nilai pH menjadi 1.84. Semakin
banyak jumlah asap cair yang diberikan maka nilai pH akan semakin besar. Hal
ini terkait dengan nilai pH awal asap cair yang lebih tinggi dibandingkan asam
semut, sehingga pada saat pencampuran akan terjadi kesetimbangan pH diantara 2
larutan yang berbeda.
Dengan kata lain, penambahan asap cair ke dalam asam semut dapat
meningkatkan nilai pH bahan koagulan. Pemberian bahan koagulan dilakuan secara
perlahan dan sedikit demi sedikit ke dalam wadah koagulasi yang disertai dengan
pengadukan. Hal ini bertujuan agar bahan koagulan dapat tercampur secara merata
ke dalam lateks.
Pemberian bahan koagulan yang berlebih atau terlalu banyak akan
menyebabkan koagulum menjadi keras dan sulit untuk digiling, sedangkan jika
pemberian kurang maka koagulum akan menjadi lunak, membubur atau tetap encer
(tidak membeku). Pengadukan juga harus dilakukan secara perlahan untuk
mengurangi busa yang timbul selama proses berlangsung.
Timbulnya busa selama proses pencampuran dan pengadukan dapat
menimbulkan gelembung udara yang dapat menurunkan kualitas RSS. Selanjutnya
wadah koagulasi ditutup rapat untuk mengindari kontak dengan udara luar. Pada
perlakuan 100% asam semut (kontrol) lateks akan membeku dalam waktu 40 menit,
begitu pula pada perlakuan lainya, kecuali yang menggunakan murni asap cair
(100% dan 200%) yang membutuhkan waktu kurang lebih selama 120 menit untuk
membeku.
Hal ini dapat disebkan karena kadar asam semut yang rendah serta
pH asap cair yang lebih tinggi jika dibandingankan dengan perlakuan yang
menggunakan asam murni atau kombinasi asam semut dan asap cair. Lateks yang
yang telah membeku disebut koagulum. Hasil koagulum pada perlakuan 25% : 75%,
50% : 50% dan 75% : 25% asam semut : asap cair, menunjukkan ciri-ciri fisik
yang sama dengan kontrol sedangkan pada perlakuan 100% dan 200% asap cair
terlihat bintik-bintik gelembung udara pada bagian permukaan, hasil ini
terlihat seragam pada setiap pengulangan.
Setiap perlakuan 44 yang menggunakan kombinasi serta murni asap
cair menunjukkan adanya lapisan tipis berwarna cokelat pada permukaan koagulum
serta beraroma asap. Bagian lapisan tersebut akan hilang ketika koagulum
dicuci/bilas dengan air. Lapisan ini terbentuk sebagai akibat reaksi antara serum
lateks serta kandungan karbonil dalam asap cair yang memiliki kemampuan memberi
warna khas cokelat pada produk.
Menurut Ruswanto et al. (2000), karbonil mempunyai efek terbesar
pada terjadinya pembentukan warna coklat produk asapan. Jenis komponen karbonil
yang paling berperan adalah aldehid glioksal sedangkan formaldehid dan
hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol juga memberikan kontribusi
pada pembentukan warna coklat pada produk yang diasap meskipun intensitasnya
tidak sebesar karbonil. Perlakuan menggunakan kombinasi dan murni asap cair
juga menunjukkan warna yang lebih kuning kecokelatan dibandingkan dengan
kontrol yang berwarna putih.
Warna lebih cokelat terlihat lebih pekat pada pemberian asap cair
200%. Pembentukan warna cokelat ini berbanding lurus dengan konsentrasi asap
cair di dalam bahan koagulan. Dengan demikian salah satu keunggulan dari asap
cair tempurung kelapa adalah dapat memberikan warna khas cokelat pada produk
RSS sehingga dapat menghemat penggunaan kayu bakar karena tidak membutuhkan
pengasapan yang terlalu banyak untuk memberikan warna.
Bintik-bintik gelembung yang terlihat pada koagulum menunjukkan
pembekuan yang kurang sempurna serta sisa gelembung yang tidak dapat naik
kepermukaan selama proses pengadukan dan pembekuan. Gelembung tersebut
terperangkap di dalam lateks hingga akhirnya turut membeku.
Menurut Suseno (1989), gelembung gas yang timbul dalam karet sit
dapat disebabkan karena penggumpalan terjadi terlalu cepat dengan menggunakan
asam yang berlebih/pekat sehingga gelembung udara tidak sempat naik ke permukan
atau dapat juga disebabkan karena penggunaan asam yang terlalu lemah (kadar
asam rendah), sehingga membutuhkan waktu penggumpalan yang terlalu lama dan
kurang sempurna. Hasil pembekuan yang tidak sempurna akan memiliki tingkat
kekerasan koagulum yang tidak merata serta permukaan koagulum yang kasar.
Pembekuan merupakan tahapan yang penting serta membutuhkan
ketelitian tinggi dalam penentuan jumlah pemberian asam. Gelembung tampak lebih
banyak pada 45 perlakuan 100% dan 200% asap cair, meskipun pemberian telah
dilakukan berdasarkan standar pemberian bahan koagualan RSS. Hal ini
menunjukkan kandungan asam yang rendah serta pH tinggi pada asap cair tempurung
kelapa sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membekukan lateks.
Perbandingan hasil koagulum menggunakan asap cair yang membeku secara sempurna
dan tidak sempurna ditunjukkan pada Gambar 7. (a) (b)
Pembekuan tidak sempurna (a) dan pembekuan sempurna (b). Proses
selanjutnya adalah penggilingan yang bertujuan untuk memisahkan sebagian besar
air yang terkandung dalam koagulum. Dengan penggilingan permukaan sit akan
menjadi semakin besar, sehingga akan mempercepat proses pengeringan. Dalam
penelitian ini digunakan metode giling pagi, yaitu penggilingan sit dilakukan
pada pagi hari setelah semua lateks selesai dibekukuan pada sore hari
sebelumnya. Metode ini banyak digunakan oleh perkebunanperkebunan besar
termasuk PTPN VIII Cikumpay tempat penelitian ini dilakukan karena di nilai
lebih mudah, efisien serta memberikan kesempatan koagulum untuk membeku secara
sempurna.
Koagulum dikeluarkan dari wadah untuk kemudian digiling
menggunakan mesin penggilingan sit (sitter six in one). 46 Setelah digiling,
sit dicuci dengan air bersih untuk menghindari permukaan yang berlemak akibat
penggunaan bahan kimia, membersihkan kotoran yang masih melekat serta
menghindari agar sit tidak menjadi lengket saat penirisan.
Koagulum yang telah digiling kemudian ditiriskan diruang terbuka
dan terlindung dari sinar matahari selama 1-2 jam. Penirisan tidak boleh
terlalu lama untuk menghindari terjadinya cacat pada sit yang dihasilkan,
misalnya timbul warna yang seperti karat akibat oksidasi. Sampai pada tahap ini
hasil koagulum semua perlakuan masih sama dengan kontrol tidak menunjukkan
warna bintik-bintik hitam atau karat yang mengidikasikan oksidasi pada bagian
permukaan.
Lihat selanjutnya
No comments:
Post a Comment